Penjelasan: Mengapa co-firing amonia dengan batu bara merupakan pendekatan yang berisiko di Asia Tenggara 

Share
Power Station java, indonesia
Power station by sea, Indonesia. Photo by Alex Traveler on Adobe.

Negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, sedang mempertimbangkan penggunaan amonia sebagai bahan bakar untuk co-firing (pembakaran bersama) pada pembangkit listrik tenaga batu bara, yang merupakan sebuah pendekatan yang banyak dipromosikan oleh Jepang. Namun, co-firing amonia sangat mahal, memiliki kelayakan yang terbatas untuk digunakan dalam skala besar, dan berisiko menunda penggunaan opsi energi terbarukan yang lebih efektif dari segi biaya, dengan sumber energi bersifat domestik, dan dapat ditingkatkan. Blog ini membahas tentang co-firing dan risikonya di Asia Tenggara.

Apa yang dimaksud dengan co-firing amonia?  

Co-firing melibatkan penggantian sebagian batu bara yang digunakan di pembangkit listrik dengan amonia, dan kemudian membakar amonia bersama batu bara untuk menghasilkan listrik. Co-firing amonia merupakan teknologi yang belum teruji dalam skala besar. Hanya ada beberapa proyek percontohan untuk co-firing amonia sebesar 20% dan rasio yang lebih tinggi belum teruji.  

“Rasio co-firing” tersebut mengacu pada pembagian kandungan energinya. Misalnya, rasio co-firing 20% berarti amonia menggantikan 20% batu bara berdasarkan kandungan energinya.  

Amonia diproduksi dari hidrogen dan saat ini digunakan secara langsung sebagai bahan baku pupuk dan bahan baku kimia, meskipun juga dapat berfungsi sebagai penghantar energi. 

  • Amonia abu-abu (Grey Ammonia) berasal dari hidrogen yang dihasilkan oleh gas fosil atau batu bara. Lebih dari 99% amonia yang diproduksi saat ini termasuk dalam kategori ini.   
  • Amonia biru (Blue ammonia) juga berasal dari bahan bakar fosil dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS)  terintegrasi. Kurang dari 1% amonia diproduksi dengan cara ini.  
  • Amonia hijau (Green Ammonia) diproduksi melalui elektrolisis air yang bertenaga listrik terbarukan. Hanya ada 0,01% amonia yang diproduksi dengan tenaga terbarukan pada tahun 2021.    

Amonia disebut-sebut sebagai “bahan bakar rendah karbon” karena tidak menghasilkan emisi karbon secara langsung ketika dibakar. Namun demikian, baik pada rasio co-firing 20% ​yang telah didemonstrasikan saat ini ​maupun rasio yang lebih tinggi yaitu 50% yang sedang diujicobakan, dampak pengurangan emisi secara langsung untuk pembangkit listrik tenaga batu bara ​akan​ kecil. Pengurangan emisi secara signifikan dari pembangkit listrik tenaga batu bara melalui penggunaan bahan bakar amonia akan membutuhkan 100% pembakaran tunggal amonia, yang merupakan sebuah teknologi yang belum memungkinkan, dan kemungkinan besar sangat tidak layak dalam skala besar.  

Secara umum, co-firing amonia di sektor listrik cenderung tidak membantu negara-negara untuk melakukan dekarbonisasi sesuai dengan strategi pembangunan rendah emisi dan Paris Agreement. Hal ini juga tidak akan membantu negara-negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan ketahanan energi mereka karena akan meningkatkan ketergantungan pada impor ammonia dari rantai pasok yang sudah meluas. 

Mengapa co-firing amonia saat ini dipromosikan di Asia Tenggara?  

Negara-negara di Asia Tenggara secara aktif mempertimbangkan cara untuk menghentikan penggunaan tenaga batu bara dan mencapai target bebas emisi. Dalam konteks ini, pemerintah Jepang dan beberapa bagian dari industrinya memiliki kepentingan ekonomi untuk mempromosikan co-firing amonia​,​ sebagai teknologi yang dapat mengurangi emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang masih baru di seluruh Asia Tenggara tanpa harus menghentikannya. 

Promosi ini, yang berlangsung melalui inisiatif tingkat tinggi dari Jepang seperti Asia Zero Emissions Community (AZEC) dan Asia Energy Transition Initiative (AETI), telah memfasilitasi puluhan MoU antara pelaku industri Jepang dan perusahaan listrik di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia untuk menguji kelayakan co-firing. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang industri berat seperti MHI dari Jepang dan Doosan Enerbility dari Korea Selatan sedang mempelajari co-firing di PLTU Suralaya dengan PLN.  

Pernyataan Menteri dari Pertemuan Menteri Energi ASEAN+3 (Negara Anggota ASEAN bersama dengan Jepang, Cina, dan Korea) 2023 mendorong penerapan dan pemanfaatan amonia. Akan tetapi, pernyataan menteri-menteri pada Pertemuan Energi ASEAN (Menteri Energi dari 10 negara anggota ASEAN) tidak menyebutkan amonia, menjadi sebuah tanda bahwa amonia diakui sebagai opsi yang kontroversial.  

Intinya adalah bahwa co-firing amonia memiliki risiko besar dan tidak dapat  memberikan manfaat keamanan dan keterjangkauan energi bagi transisi sektor listrik di Asia Tenggara. Upaya untuk mengekspor teknologi yang berisiko dan mahal ini ke negara-negara di Asia Tenggara dapat mengakibatkan kawasan ini menjadi aset yang terlantar dan menimbulkan ketergantungan pada bahan bakar impor, yang merupakan risiko yang dapat dihindari melalui investasi pada sumber daya terbarukan dalam negeri.  

Apa saja risiko co-firing amonia?  

Co-firing amonia memiliki beberapa keterbatasan dan risiko:  

Biaya yang sangat tinggi

Amonia lebih mahal daripada batu bara dengan basis energi yang setara, dan juga lebih mahal daripada teknologi energi terbarukan. Di Indonesia, TransitionZero memperkirakan bahwa mengganti batu bara dengan co-firing amonia 20% lebih mahal hingga empat kali lipat daripada menggantinya dengan tenaga surya atau angin per ton CO2 yang dihindari.  

Risiko penundaan investasi dalam energi terbarukan

Bertaruh pada co-firing berisiko menunda penyebaran solusi alternatif yang bersih, berbiaya rendah, bersifat domestik dan terukur, seperti angin dan matahari, yang  memberikan cara yang jauh lebih efektif secara biaya dan dapat diandalkan untuk mengurangi emisi di sektor tenaga listrik untuk Asia Tenggara. Pemodelan IRENA menunjukkan bahwa Asia Tenggara memiliki sumber daya energi terbarukan yang sangat besar. Dengan investasi dan dukungan yang ditingkatkan secara signifikan, sistem pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dapat dilakukan dan dapat memberikan peluang ekonomi dan lapangan kerja baru. 

Tidak mendukung ketahanan energi

Mengupayakan co-firing amonia akan membutuhkan sumber amonia dalam jumlah besar, sehingga meningkatkan risiko keamanan energi dari ketergantungan impor pada negara-negara eksportir hidrogen dan amonia masa depan seperti Australia dan Timur Tengah.  Bahkan untuk negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam yang berencana untuk memproduksi amonia hijau di dalam negeri, nilai penggunaannya di sektor listrik masih terbatas. Penggunaan listrik terbarukan untuk menghasilkan hidrogen, kemudian menggunakan lebih banyak tenaga terbarukan untuk mengubah hidrogen menjadi amonia, dan akhirnya membakar amonia tersebut untuk menghasilkan listrik, merupakan cara yang lebih mahal, lebih lambat, dan sangat tidak efisien untuk meningkatkan ketahanan energi, dibandingkan dengan menggunakan sumber daya terbarukan secara langsung untuk menghasilkan listrik.  

Belum terbukti pada skala komersial

Co-firing amonia masih merupakan teknologi yang masih baru, dengan hanya 20% rasio yang telah diujicobakan sejauh ini, dan belum digunakan secara komersial. Kelayakan komersial dan teknis untuk mencapai co-firing amonia lebih dari 50%, apalagi 100% pembakaran tunggal, yang diperlukan untuk menghilangkan emisi langsung dari pembangkit listrik tenaga batu bara sepenuhnya, belum terbukti. Bertaruh pada co-firing amonia untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik batu bara berisiko memperpanjang usia pembangkit listrik batu bara dan gagal memenuhi target iklim. 

Potensi pengurangan emisi yang terbatas

Analisis dari TransitionZero menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara dengan 20% amonia masih akan memiliki emisi lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan skenario Bebas Emisi (Net Zero Emissions) IEA untuk tahun 2030. Jika amonia yang digunakan berasal dari bahan bakar fosil, maka emisi secara keseluruhan siklus hidup pembangkit listrik tenaga batu bara dapat meningkat. Sebagai contoh, amonia abu-abu yang dihasilkan dari batu bara yang tidak diolah mengandung emisi yang setara dengan dua kali emisi dari pembakaran langsung batu bara.  

Tingkat polusi udara yang lebih tinggi

Analisis dari CREA menunjukkan bahwa co-firing amonia dengan batu bara akan meningkatkan polusi udara secara substansial, sehingga menciptakan risiko kesehatan yang besar. PM2.5 dan partikel beracun dapat meningkat sebesar 67% pada tingkat co-firing 20%, dan sebesar 167% pada tingkat co-firing 50%. 


 
Apa pemanfaatan amonia hijau yang lebih baik?  

Menggunakan amonia dalam co-firing batu bara akan meningkatkan permintaan akan amonia hijau, satu-satunya jenis amonia bebas karbon, sehingga memberikan tekanan pada rantai pasok yang terbatas dan menciptakan trade-off yang mahal antara berbagai sektor ekonomi yang berbeda.  

Amonia hijau akan menjadi sumber daya yang terbatas, berharga, dan mahal selama beberapa dekade mendatang dan akan sangat penting untuk dekarbonisasi di sektor industri yang memiliki lebih sedikit alternatif. Alih-alih menggunakannya untuk sektor listrik, dengan energi terbarukan yang menghadirkan opsi yang lebih matang, hemat biaya, dan lebih bersih untuk dekarbonisasi, negara-negara di Asia Tenggara yang berencana memproduksi amonia hijau akan melihat manfaat yang lebih besar untuk dekarbonisasi yang hemat biaya dengan menargetkan penggunaan amonia hijau untuk tujuan-tujuan berikut: 

Mengganti amonia abu-abu

Amonia adalah salah satu komoditas yang paling banyak menghasilkan emisi yang dihasilkan oleh industri dan bertanggung jawab atas 1,3% emisi CO2 terkait energi. Sebanyak 70% amonia yang diproduksi saat ini digunakan untuk pupuk dan sisanya untuk penggunaan  pada sektor industri. Produksi amonia hijau akan sangat penting untuk menggantikan permintaan amonia abu-abu saat ini di sektor-sektor tersebut. 

Melakukan dekarbonisasi pada sektor ​​industri berat

Amonia hijau dapat menggantikan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi di sektor-sektor di mana elektrifikasi mungkin menjadi tantangannya, seperti industri berat, termasuk semen, baja atau plastik, atau perkapalan dan penerbangan.  


Memprioritaskan penggunaan amonia hijau (green ammonia) untuk sektor industri berat tersebut dapat memberikan kontribusi pada dekarbonisasi di seluruh Asia Tenggara; sebaliknya co-firing amonia dengan batu bara memiliki risiko biaya yang terlalu mahal, pemanfaatannya yang terlalu lambat di skala besar, dan memiliki intensitas karbon yang terlalu tinggi untuk membantu negara-negara melakukan dekarbonisasi pada sektor listrik mereka sesuai dengan Paris Agreement.  

Untuk informasi lebih lanjut, silakan baca publikasi kami (dalam bahasa Inggris) tentang dampak iklim dan ekonomi yang merugikan dari co-firing amonia dengan batu bara untuk pembangkit listrik, atau dapat menghubungi Hanna Hakko atau Katrine Petersen.  

Related

Subscribe to our newsletter